Dinamika politik praktis jelang 2024 seperti mengiring publik untuk mengulangi pola pemilihan presiden (pilpres) dekade 2014 dan 2019-an, dimana tren mengerucut untuk menguat pada dua pasangan calon saja, sedang pasangan lain cuma pendamping. Ini asumsi awal. Silakan cermati secara jeli konstelasinya, siapa dua pasangan calon yang kelak berhadapan dalam pilpres 2024?
Bila merujuk teori “Negeri Panggung” (Theater State)-nya Cliffort Geertz bahwa simbolisme, persepsi, narasi dan drama lebih penting daripada realitas. Maka, kata Geertz, para elit cukup memanipulasi drama panggung tanpa perlu perbaikan realitas. Itulah skenario yang tengah digelar oleh pakar politik di republik tercinta.
Padahal, tidak sedikit pakar politik kini tak ubahnya “makelar kambing di hari raya korban”. Ini ungkapan filosofi. Hari raya artinya kesenangan sesaat; sedangkan makna makelar adalah demi perutnya sendiri; dan maksud kambing ialah sosok —kandidat— yang akan dicincang atau disembelih.Jadi, siapapun sosok terpilih nantinya ia bakal “dicincang”. Begitulah. Dicincang dalam arti dijadikan tumbal, dikalahkan, atau sebaliknya, ia dipromosi, diherokan (dimenangkan) dan dicitrakan sebagai pimpinan masa depan. Kemudian persepsi publik pun digiring melalui simbolisme, citra dan narasi. Propaganda diramu sedemikian rupa agar sesuai dengan kerinduan serta aspirasi rakyat terhadap sosok (kambing) dimaksud.
Melalui cara apa?
Menjadi rahasia umum, selain merekrut para ahli pencitraan guna memanipulasi (publik) panggung, juga yang lazim dilakukan ialah berternak dan memelihara buzzer.
Agaknya, dunia nitizen yang kerap (mampu) menjadi social control informal, kini cenderung terbawa dalam drama sebagaimana pola pilpres 2014 dan 2019. Mereka terjebak perilaku malah menguatkan dua kandidat dan/atau pasangan calon saja. Bahkan para nitizen kerap hanyut oleh rasa sentimen, sehingga tanpa disadari ikut mem-“buzzer“-kan diri. Inilah canggihnya daya bius drama panggung menyihir publik. Kenapa? Sebab, pandangan nitizen terhadap perpolitikan masih berdasarkan persepsi, narasi pencitraan serta isu sentimen, bukannya berbasis profiling si kandidat secara cermat. Ya. Profiling di era kini menjadi penting, oleh karena (narasi) citra dan persepsi bukanlah realitas yang sesungguhnya.
Pada konteks lain, bila hajatan pemilu masih berdasar UUD 1945 hasil amandemen (empat kali) yang berinti one man one vote dan presidenthal threshold 20%, maka bangsa ini wajib eling dan waspada. Mengapa begitu, karena siapapun kandidat serta pasangan calon yang muncul, mereka adalah pilihan para cukong, si pemilik modal (baca: Negeri Panggung: Di Antara Democracy, Simulakra dan Korupsi Kebijakan).
Perlu menjadi permenungan bersama, sekali lagi, siapapun kandidat jika sistem politik masih berakar pada UUD hasil amandemen, maka ia cuma wayang. Pion. Sebab masih ada dalang selaku pengendali wayang, masih ada pemilik hajatan yang meremot dalang serta memilih (skenario) drama di balik layar. The man behind the scenes. Dalang ialah pakar politik, sedang pemilik hajatan kerap disebut cukong alias bandar, itulah segelintir pemilik modal.
Maka silakan cermati kemana republik ini digiring oleh pakar politik. Mau diantar kembali kepada Kejayaan Nusantara, atau dijerumuskan ke jurang perpecahan?
Setidaknya, era demi era yang telah berlalu, atau jejak periode demi periode — bisa dijadikan CERMIN bersama.
Nah, jika berbasis CERMIN tadi, bangsa ini bisa dipotret melalui tiga golongan yang kini tengah menggejala, antara lain:
1. Golongan Pecundang. Inilah para koroptur baik pelaku korupsi (duit) APBN maupun korupsi kebijakan yang hingga kini —korupsi kebijakan— belum terdeteksi oleh hukum positif di satu sisi, meskipun pada sisi lain, korupsi di Indonesia itu diciptakan oleh sistem politik. Kenapa tidak ada political will untuk mengubah sistem dimaksud?
2. Golongan Pengkhianat. Sudah banyak disaksikan hasil ucapan dan perbuatan para tokoh hipokrit dan mencla-mencle. Itulah pembodohan secara berkala, dan gilirannya, kedustaan semakin menjadi-jadi.Sebagaimana “Theater State“-nya Geertz, para elit cukup memanipulasi drama panggung tanpa perlu perbaikan realitas. Hasilnya apa? Mengenyangkan serta menyenangkan segelintir orang;
3. Golongan Nasionalis. Inilah kelompok anak bangsa yang cinta tanah air dan masih memiliki keyakinan bahwa kelak Indonesia akan kembali meraih Kejayaan Nusantara sebagaimana Nusantara I era Sriwijaya dan Nusantara II era Majapahit. Indonesia bakal kembali menjadi mercusuar dunia. Right or wrong is my country. Masih adakah jiwa-jiwa semacam itu di republik ini? Masih banyak! Bahkan benih-benih pun terus bersemi di sana-sini meski silent, gundah lagi gelisah.
Nah, kita — masuk di golongan mana? Silakan bertanya ke masing-masing nurani yang nun jauh di sana di lubuk hati terdalam.
Mengelola negara guna meraih cita-cita sesuai pembukaan UUD (bab ini yang belum diganti) memang kudu melalui langkah-langkah politik, tetapi membuat negara kuat, berdaulat, adil dan makmur harus memakai piramida (geo) politik. Lantas, bagaimana piramida politik agar sesuai dengan kredo Kejayaan Nusantara tempo doeloe?
Inilah pe-er bagi segenap anak bangsa terutama kelompok yang mengaku dirinya sebagai pakar politik. Clue utamanya adalah, bahwa sistem yang digunakan harus UUD yang berpihak pada Kepentingan Nasional, minimal UUD 1945 asli (UUD sebelum diubah) yang sarat local wisdom (musyawarah mufakat), berdaulat dan berpihak kepada rakyat. Inilah salah satu bentuk tadabur menjelang 2024.